Kebenaran menjadi Filsafat Kebenaran
A. Hakikat Filsafat Kebenaran
Secara umum orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
kebenaran. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya
epistemologi. Telaah kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu
kesimpulan bahwa ada tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis,
kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah
kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti
ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala
sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran dalam arti semantis adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Manusia mencari kebenaran dengan menggunakan akal
sehat (common sense) dan dengan ilmu pengetahuan.Kebenaran itu
sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi,
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Oleh karena
itu, diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran. Ada tiga jenis kebenaran
yaitu: kebenaran epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan), kebenaran
ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada atau diadakan), dan kebenaran
semantis (berkaitan dengan bahasa dan tuturkata).
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang yang ada dan
realitas. Dalam kaitanya dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang
objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang haqiqi dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berfikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan kebenaran
pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu landasan epistomologi mempertanyakan
bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? Cara dan sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu.
Aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Maksud dari
hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah
berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah
kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein)
terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu
kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan
keburukan (ketidakbenaran).
Dalam bahasan
ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan
(ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan
hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah
suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. Yang
menjadi permasalahan
adalah bahwa dalam menemukan kebenaran tersebut ada
perbedaan dari setiap individu baik cara maupun
metode yang digunakan. Sehingga muncul sebuah perbedaan pula mengenai kriteria
kebenaran. Para pakar ilmu filsafat banyak menganggap benar bahwa pengetahuan
terdiri:
1. Pengetahuan Akal (Logika)
1. Pengetahuan Akal (Logika)
2. Pengetahuan
Budi (Etika)
3. Pengetahuan Indrawi (Estetika)
4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif)
5. Pengetahuan Intuitif
Pengetahuan akal itu disebut ilmu yang
kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan budi disebut moral
kemudian untuk membahasnya disebut etika, pengetahuan indrawi disebut seni yang
kemudian di sebut estetika, pengetahuan kepercayaan disebut agama, tetapi dalam
hal ini tidak boleh otoritatif karena agama tidak memaksa, agama harus diterima
secara logika, etika dan estetika dan agama itu hanyalah islam yang terbukti
kebenaranya, keindahanya dan kebaikanya. Jadi titik temu antara logika, etika dan
estetika adalah islam, oleh karena itu pengetahuan intuatif kepada seseorang
yang disebut nabi harus diuji terlebih dahulu seperti halnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam
sejarah filsafat, terdapat beberapa
kriteria teori tentang kebenaran,
antara lain:
1. Teori Kebenaran Korespondensi
(Teori Persesuaian)
Kebenaran korespondesi adalah
kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif. Kesahihan korespondensi itu memiliki
pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian
indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian,
informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
2. Teori Kebenaran
Konsistensi/Koherensi (Teori Keteguhan)
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap
benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.
3. Teori Kebenaran Pragmatis/ Inherensi
Teori ini menyatakan bahwa suatu kebenaran hanya dalam salah satu konsekuensi
saja. Kelemahan teori ini yaitu apabila kemungkinan-kemungkinannya luas, oleh
karena itu harus dipilih kemungkinannya hanya dua dan saling bertolak belakang.
Misalanya, semua yang teratur ada yang mengatur, dalam hal ini kita tidak
membicarakan yang tidak teratur, dari uraian tersebut dapat difahami hanya ada
dua kemungkinan yaitu ada yang mengatur atau tidak ada yang mengatur, apabila
diterima salah satu maka yang lain dicoret karna bertolak belakang.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal tolak pada keteraturan
sintaksis atau gramatika yang di pakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa
yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari yang di
syaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang
diantara filsuf bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika.
Teori ini menyatakan bahwa
kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.
B. Filsafat
Kebenaran Ditinjau Dari Sudut Pandang Ontologi
Tataran ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan
mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan
kebenaran, ontologi memerlukan proses realitas itu diakui kebenarannya. Untuk itu,
proses tersebut memerlukan dasar pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan
pada ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
C. Filsafat
Kebenaran Ditinjau Dari Sudut Pandang Epistemologi
Pembicaraan epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang diketahui dan
bagaimana cara mengetahui. Pembahasan epistemologi tidak terlepas dari berbagai
teori tentang pengetahuan. Terjadinya perbedaan dalam memaknai pengetahuan
akibat adanya perbedaan metode, objek, sistem dan tingkat kebenarannya.
Menurut Suparlan Suhartono, perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang
yang berbeda. Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada teori
korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan
teori koherensi.
Kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakikat kebenaran, karena pada
dasarnya semua pengetahuan membahas dan memepersoalkan kebenaran. Aliran
realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan
kenyataan. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses
mental/psikologis yang bersifat subjektif.
Teori kebenaran epistemologi dibagi menjadi tiga yaitu, pertama teori
koherensi, teori yang dibangun berdasarkan hakikat pribadi rasional ilmu
pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoretis dalam
ruang lingkup bertaraf abstrak ideal.
Kedua, teori koresonden, teori ini dibangun brdasarkan hakikat empirik ilmu
pengetahuan. Ukran kebenaran ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat
dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaia
antara idea dengan pengalaman konkret. Ketiga, teori pragmatik, teori ini
dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan.
Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkup dialektis rasional dan
empirik, akibatnya ukuran kebenaran berstandar dua dengan menekankan pada nilai
kegunaan dan dapat dikerjakan.
D. Filsafat
Kebenaran Ditinjau Dari Sudut Pandang Aksiologi
Aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut John Sinclair (dalam
Endraswara, 2012: 146), dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
pemikiran atau sebuah sistem seperti politik, sosial, dan agama.
Tataran aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran, etika
dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan
ilmu. Kebenaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak, sebab mungkin saja pernyataan
yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru,
atau pernyataan sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian bertentangan
dengan penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.
E. Filsafat
Kebenaran Ditinjau Dari Sudut Pandang Globalisasi
Kebenaran
secara umum adalah apa yang dianggap benar dan beradasarkan pada dasar-dasar
yang membuktikan sesuatu itu dapat dikatakan benar. Kebenaran diartikan sebagai
apa yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, diyakini dan diakui
keberadaannya. Kebenaran terdiri dari atas dua macam, yakni kebenaran subjektif
dan kebenaran objektif.
Tidak
ada kebenaran yang bersifat absolut, yang ada hanya opini. Jika opini itu valid
dan dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah suatu kesepakatan atau konvensi
untuk menerima opini tersebut menjadi kebenaran yang dapat diterima.
Lahirnya
kebenaran-kebenaran subjektif yang bervariasi bukan karena ada keterbatasan
akal manusia dalam menganalisa fenomena, tetapi disebabkan oleh kebebasan
manusia dalam menafsirkan fenomena. Kebebasan manusia merupakan anugrah Tuhan.
Sehingga tidak mungkin merupakan suatu kekurangan melainkan keistimewaan.
Setiap manusia memiliki kebebasan berpikir dan kebebasan merasa. Akan tetapi,
kebebasan itu terbatas oleh kesepakatan-kesepakatan bersama. Ada tanggung jawab
moral dan intelektual dalam kebebasan itu. Pada dasarnya kebenaran bersifat
konstan dan tetap tidak berubah, statis, yang berubah adalah subjek kebenaran
itu sendiri.
Cara
mencari kebenaran secara umum yakni:
1) Secara
kebetulan
Ada
cerita yang kebenarannya sukar dilacak mengenai kasus penemuan obat malaria
yang terjadi secara kebetulan. Ketika seorang Indian yang sakit dan minum air
dikolam dan akhirnya mendapatkan kesembuhan. Dan itu terjadi berulang kali pada
beberapa orang. Akhirnya diketahui bahwa disekitar kolam tersebut tumbuh
sejenis pohon yang kulitnya bisa dijadikan sebagai obat malaria yang kemudian
berjatuhan di kolam tersebut. Penemuan pohon yang kelak dikemudian hari dikenal
sebagai pohon kina tersebut adalah terjadi secara kebetulan saja.
2) Trial
And Error
Cara
lain untuk mendapatkan kebenaran ialah dengan menggunakan metode trial and
error
3) Melalui
Otoritas
Kebenaran
bisa didapat melalui otoritas seseorang yang memegang kekuasaan, seperti
seorang raja atau pejabat pemerintah yang setiap keputusan dan kebijaksanaannya
dianggap benar oleh bawahannya.
4) Berpikir
Kritis/Berdasarkan Pengalaman
Metode
lain ialah berpikir kritis dan berdasarkan pengalaman. Contoh dari metode ini
ialah berpikir secara deduktif dan induktif. Secara deduktif artinya berpikir
dari yang umum ke khusus; sedang induktif dari yang khusus ke yang umum. Metode
deduktif sudah dipakai selama ratusan tahun semenjak jamannya Aristoteles.
5) Melalui
Penyelidikan Ilmiah
Menurut
Francis Bacon Kebenaran baru bisa didapat dengan menggunakan penyelidikan
ilmiah, berpikir kritis dan induktif.
KESIMPULAN
Kebenaran ditinjau dari
sudut pandang ontologi, yaitu pola pikir yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran.
ditinjau dari sudut
pandang epistemologi yakni Teori kebenaran epistemologi dibagi menjadi tiga
yaitu, pertama teori koherensi, teori yang dibangun berdasarkan hakikat pribadi
rasional ilmu pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah
teoretis dalam ruang lingkup bertaraf abstrak ideal.
Kedua, teori koresonden, teori ini
dibangun brdasarkan hakikat empirik ilmu pengetahuan. Ukran kebenaran
ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita
konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaia antara idea dengan pengalaman
konkret. Ketiga, teori pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat
rasional maupun empirik ilmu pengetahuan.
Kebenaran ditinjau dari sudut
pandang aksiologi, yakni nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Kebenaran ditinjau dari sudut
pandang globalisasi, yakni setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda
terhadap kebenaran atau sesuatu yang benar. Kebenaran diartikan sebagai apa yang
secara umum dapat diterima oleh masyarakat, diyakini dan diakui keberadaannya. Kebenaran
terdiri dari atas dua macam, yakni kebenaran subjektif dan kebenaran objektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagus,
I Gusti Rai Utama. 2013. Filsafat Ilmu dan Logika. Badung: Universitas
Dhyana Pura.
Jujun S. Suriasumantri. 1985. Ilmu dalam Prespektif. Jakarta: Gramedia.
Suwardi,
Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu: Konsep, sejarah, dan pengembangan metode
ilmiah. Jakarta: PT Buku Seru.
Comments
Post a Comment