Analisis "Pendekatan Mimesis"
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses
pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan
pikiran masyarakat. Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk (sastrawan) yang lahir
dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Analisis
teori mimetik pada novel ”Surat Kecil Untuk Tuhan” karya Agnes Davonar
merupakan bentuk penerapan teori mimetik dalam karya sastra. Teori mimetik
merupakan teori yang lahir bersamaan dengan masa kejayaan filsuf Yunani. orang
yang berpengaruh terhadap lahirnya teori ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato merupakan guru dari Aristoteles. Meskipun guru dan murid, keduanya
memiliki pandangan yang berbeda. Plato memandang karya sastra sebagai sesuatu
yang memiliki nilai lebih rendah daripada karya tukang kayu. Sementara,
Arisoteles memandang karya sastra sebagai sesuatu yang memiliki nilai tinggi
daripada karya tukang kayu.
Karya sastra
menawarkan sebuah potret kenyataan yang bisa menjadi bahan perenungan bagi
penikmatnya. Karya sastra memuat gambaran realitas yang ada. Sastra dan
masyarakat pada gilirannya berada dalam kaitan dialektis. Meskipun demikian,
sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya (Ratna,
2005: 268). Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan
realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi
karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan
refleksi dari potret kehidupan masyarakat.
Potret kehidupan inilah yang memicu lahirnya sebuah novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Cerita dalam novel ini merupakan kisah hidup nyata dari seorang Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam mempertahankan hidupnya. Ia terserang kanker jaringan lunak pertama di Indonesia, oleh sebab itu belum ada obat mujarab yang dapat mengobatinya. Ia telah menjalani berbagai terapi, tapi takdirnya untuk mati muda tetap terjadi. Ia beruntung karena tinggal bersama ayah yang selalu menyayangi dan menyemangatinya, hingga ia menjadi gadis yang tegar. Selain itu peran kedua kakak lelakinya, keenam sahabatnya, juga Andy kekasihnya tidak pernah lengah untuk terus memberikan perhatian padanya. Keke tidak pernah menyerah dalam menjalankan hidupnya, ketika ia sakit dengan wajah yang mengerikan ia tetap menjalankan aktivitas belajar di sekolah seperti anak normal. Ia bahkan ikut ujian nasonal. Ia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Nilai ujiannya pun terbaik di SMA, hingga penghargaan dari Megawati Soekarno Puteri yang kala itu menjadi presiden didapatkannya. Hal itu sebagai kenangan terakhir yang ia persembahkan untuk ayahnya dan orang-orang yang disayanginya.
Potret kehidupan inilah yang memicu lahirnya sebuah novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Cerita dalam novel ini merupakan kisah hidup nyata dari seorang Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam mempertahankan hidupnya. Ia terserang kanker jaringan lunak pertama di Indonesia, oleh sebab itu belum ada obat mujarab yang dapat mengobatinya. Ia telah menjalani berbagai terapi, tapi takdirnya untuk mati muda tetap terjadi. Ia beruntung karena tinggal bersama ayah yang selalu menyayangi dan menyemangatinya, hingga ia menjadi gadis yang tegar. Selain itu peran kedua kakak lelakinya, keenam sahabatnya, juga Andy kekasihnya tidak pernah lengah untuk terus memberikan perhatian padanya. Keke tidak pernah menyerah dalam menjalankan hidupnya, ketika ia sakit dengan wajah yang mengerikan ia tetap menjalankan aktivitas belajar di sekolah seperti anak normal. Ia bahkan ikut ujian nasonal. Ia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Nilai ujiannya pun terbaik di SMA, hingga penghargaan dari Megawati Soekarno Puteri yang kala itu menjadi presiden didapatkannya. Hal itu sebagai kenangan terakhir yang ia persembahkan untuk ayahnya dan orang-orang yang disayanginya.
Kisah dalam
novel ini menceritakan secara detail perjuangan Keke pada detik-detik terakhir
hidupnya. Kisah haru yang di dominasi oleh tokoh utama yang tegar dan
inspiratif bagi teman-temannya ini membuat peristiwa dalam novel ini menarik.
Kekuatan karakter tokoh utama dalam membangun alur dalam novel ini menarik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penulisan ini
yakni “Bagaimanakah Kondisi Sosial Budaya Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes
Davonar?”
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, maka tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan kondisi sosial
budaya Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang
diperoleh dari makalah ini yakni dapat menjadi tambahan bacaan bagi pembaca
yang ingin menganalisis karya sastra khususnya novel dengan pendekatan mimetik
atau mimesis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Novel
Istilah novel berasal
dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies,
yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa
novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan
dengan cerita pendek (short story) dan roman (Herman J. Waluyo, 2002:
36).
Pengertian Novel dalam The
American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan
(2003:164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam
panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang
agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu
dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat
Burhan (2005:9) yang memberikan pengertian bahwa “novel adalah sebuah
prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek”. Secara etimologis , kata “novel” berasal dari novellus
yang berarti baru. Jadi, novel adalah bentuk karya sastra cerita
fiksi yang paling baru.
B. Pendekatan Mimetik
Menurut
Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling
primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra
itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya
sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah
kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa
karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di
samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011:
70).
Pandangan
Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep
ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato
menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang
sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada
manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin
untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang
tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia
hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat
dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak
dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens,
1979: 13).
Berdasarkan
pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian
kesepuluh.Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya
karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka
dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul
karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan
menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copydari
ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam
ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari
pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan
lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh
pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat
disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya
dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
Menurut
Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi
sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik
yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ide (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato
bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual
seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di
muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung
menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles
adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti
juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan
bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi,
Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal
budi. Aristoteles memandang seni sebagai katharsis,
‘penyucian terhadap jiwa’. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan
kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah
penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles
menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata
menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan
kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan
indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles
mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian
Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum).
Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair
memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat
manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles
dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari
tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan
positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya
terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan
sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak
dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah
(tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan
ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal,
sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain
bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang
menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke
dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai
pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan
Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan
Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi
diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan
pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat
diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara
dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan
kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut
kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur
(Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut
kemudian tergeser pada zamanromantic. Aliran romantic justru
memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas
indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali
kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih
memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama.
Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga
dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu
pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (diakses tanggal 3 Mei
2012).
Pendekatan
ini menghubungkan karya sastra dengan alam semesta (dalam istilah Abrams:
univers). Universe ‘aiam semesta’ ini berkaitan dengan aspek dan masalah yang
cukup luas dan rumit, tidak hanya menyangkut masalah ilmu sastra, tetapi juga
antara lain filsafat, psikologi, dan sosiologi dengan segala aspeknya. Sesuai
dengan judul tulisan ini, masalahnya dibatasi pada ilmu sastra saja.
Dalam ilmu sastra barat, masalah ini
dimulai oleh filsuf plato dan muridnya, namun yang sekaligus bertentangan
pendapat, yaitu aristoteles. Hamper dua ribu tahun yang lalu mereka telah
memperdebatkan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan, dan persoalan
itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Dalam hubungan karya sastra dengan
nimesis ‘kenyataan; plato berpendapat bahwa sastra hanyalah tiruan dan tidak
menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh. Seni hanyalah mweniru dan membayangkan
hal yang tampak; jadi, berdirih dibawah kenyataan. Seni seharusnya trutbful
‘penuh kebenaran’ dan seorang seniman harus modest’ ‘rendah hati’;
seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal manusia yang berasio seharusnya
meredakan nafsu.
Adapun aristoteles berpendapat bahwa
seni justru membuat suci jiwa manusia lewat proses yang disebut katbarsis.
Penyair tidak meniru kenyataan; seniman mencipta dunia sendiri dengan probability
‘kemungkinan-kemungkinan ; Karya seni menjadi sarana pengetahuan yang khas,
cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau situasi manusia
yang tak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Hubungan
universe dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan boleh dikatakan
sejalan. Dalam sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan alam cukup sentral.
Pada abad pertengahan manusia hanya mengambil contoh ciptaan Tuhan yang mutlak
baik dan indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair terikat pada ciptaan Tuhan,
yang merupakan model sempurna; dalam Al-Quran kebenaran diberikan melalui
pemakaian bahasa yang tidak ada yang dapat mengunggulinya; dalam puitika Cina
umumnya aspek mimetik ditekankan pada seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan
dan kemanusiaan harus menjadi teladan bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan
murni tidak dianggap sebgai seni. Dalam puisi Jawa kuno, khususnya dalam
kakawin,aspek mimetic, yaitu alam sebagai teladan, bagi penyair sangat kuat
pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam keindahan alam dengan berkelana
menelusuri keindahan dan bagian yang paling puitik dalam arti luas. Kakawin
d8isamakan dengan unio mystica, yaitu persatuan manusia dengan Tuhan melalui
keindahan.
Apa bila
dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka penganut teori
creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu ciptaan dalam
arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap
karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom
dalam kenyataan.
Adapun teori
mimesis menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan
realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis -
sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai
dokumen social. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran
kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagaibidang
pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan mengatasi
kenyataan sehari-hari.
Dalam
sastra, sebuah roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara kenyatan danj
rekaan. Misalnya, dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan informasi
factual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh pemberian
makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu
tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin
lebih dari kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang memberi makna pada
kenyataan atau kenyataan ilmu.
Dalam
tulisan sejarah, seorang sejarahwan mencoba membei makna pada peristiwa melalui
penggumpulan dan pengupasan data yang digarap seteliti serta selengkap mungkin.
Akan tetapi, dalam pemberian makna ia harus bersifat selektif dan objektif
serta terikat pada model naratif dan ragam fiksional yang ada bagi dia selaku
penanggap kebudayaan tertentu. Sementara itu, sastrawan memberi makna lewat
kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dalam rangka
konvensi kebebasan, kesastraan, dan sosio-kebudayaan yang dipahami pembaca.
Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap
kenyataan hanya mungkin dibayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu
sendiri (Ibid, 1984: 219-248).
C. Pengertian Sosial Budaya
Nilai sosial mengacu pada hubungan
individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang
harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi
situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia
yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang
sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial
dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang
benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk
mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku Uzey
(2009 :9) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan
terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu
yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan.
Menurut Uzey (2009 :1) menyatakan
bahwa nilai budaya dalam kehidupan manusia di peroleh karena manusia memaknai
ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan
secara individual namun di hayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh
masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang
digambarkan.
Sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagaian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup
karena itu, suatu sistem nilai budaya biasa berfungsi sebagai pedoman tertinggi
bagi kelakuan manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Fokus Penulisan
Berdasarkan judul yang
diangkat pada tulisan ini maka fokus penulisan ini yakni kondisi sosial dalam
Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar.
B. Desain
Desain penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif
karena sasarannya adalah mengetahui kondisi sosial yang terdapat dalam Novel
Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar. Maka dalam menyusun desain penelitian ini harus dirancang berdasarkan
pada prinsip metode deskriptif yaitu memaparkan dan menyampaikan data secara
objektif kondisi sosial yang ada dalam Novel Surat Kecil Untuk
Tuhan Karya Agnes Davonar sebagai objek
penelitian.
C. Data dan Sumber Data
Data yang akan
dikumpulkan adalah Kondisi sosial Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes
Davonar.
Sumber data dalam analisis ini sebagai berikut:
Judul : Surat Kecil Untu
Tuhan
Penerbit : Inandra Published
Tahun : 2008
Pengarang : Agnes Davoar
Jumlah halaman : 232
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan
dalam penelitian ini yakni teknik telaah isi. telaah isi sebagai teknik
penelitian untuk keperluan mendiskripsikan secara objektif, sistematis, dan
kuantitatif tentang manifestasi komunikasi.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data, menurut
Patton Moleong (2000:103) adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia
membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap
analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara
dimensi-dimensi uraian. Bogdan dan Taylor pada Moleong (2000:103)
mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal
untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan
oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan
hipotesis itu.
Teknik analisis data pada penelitian ini ada tiga
yaitu, identifikasi, klasifikasi dan interpretasi.
1.
Identifikasi
Dalam kamus sastra yang
dimaksud dengan identifikasi adalah proses penghayatan terhadap diri tokoh
rekaan dalam teks sastra dengan pemahaman dan pengenalan atas pikiran dan
perasaan tokoh. Proses identifikasi dalam penelitian ini merupakan proses
memberikan tanda pada data yang telah dikumpulkan sehingga akan mempermudah
penulis dalam memilah hasil penelitian. Data yang akan di identifikasi oleh
penulis dalam penelitian ini adalah kondisi sosial yang terkandung dalam Novel
Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar.
2.
Klasifikasi
Klasifikasi artinya mengelompokkan
sesuatu berdasarkan jenis, bentuk, dan sifat yang dimiliki oleh suatu benda.
Tujuan klasifikasi adalah untuk memudahkan penandaan terhadap suatu benda.
Proses klasifikasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun secara
berkelompok sesuai jenis data itu sendiri dan sesuai dengan kaidah atau standar
yang berlaku.
3.
Interpretasi
Menurut kamus istilah
sastra yang dimaksud dengan interpretasi adalah pemahaman dan penjelasan teks
secara sistematis dengan mengusahakan keterangan lengkap dan memadai tentang
teks. Hal ini berarti menginterpretasi karya sastra harus bertolak dari
rekonsruksi teks dan deskripsi pandangan kesusastraan pada zaman teks itu
dibuat. Oleh karena itu, setelah peneliti melakukan proses identifikasi dan
klasifikasi maka proses terakhir yang akan dilakukan oleh peneliti
adalah proses interpretasi. Yang dimaksud dengan proses interpretasi
adalah memberikan kesan atau pendapat akhir sang penulis terhadap apa
hasil penelitiannya atau dengan kata lain memberikan kesimpulan. Metode
analisis data pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif karena
menggunakan data kualitatif.
Comments
Post a Comment