Analisis "Pendekatan Mimesis"

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat. Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Analisis teori mimetik pada novel ”Surat Kecil Untuk Tuhan” karya Agnes Davonar merupakan bentuk penerapan teori mimetik dalam karya sastra. Teori mimetik merupakan teori yang lahir bersamaan dengan masa kejayaan filsuf Yunani. orang yang berpengaruh terhadap lahirnya teori ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato merupakan guru dari Aristoteles. Meskipun guru dan murid, keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Plato memandang karya sastra sebagai sesuatu yang memiliki nilai lebih rendah daripada karya tukang kayu. Sementara, Arisoteles memandang karya sastra sebagai sesuatu yang memiliki nilai tinggi daripada karya tukang kayu.
Karya sastra menawarkan sebuah potret kenyataan yang bisa menjadi bahan perenungan bagi penikmatnya. Karya sastra memuat gambaran realitas yang ada. Sastra dan masyarakat pada gilirannya berada dalam kaitan dialektis. Meskipun demikian, sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya (Ratna, 2005: 268). Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat.
Potret kehidupan inilah yang memicu lahirnya sebuah novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Cerita dalam novel ini merupakan kisah hidup nyata dari seorang Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam mempertahankan hidupnya. Ia terserang kanker jaringan lunak pertama di Indonesia, oleh sebab itu belum ada obat mujarab yang dapat mengobatinya. Ia telah menjalani berbagai terapi, tapi takdirnya untuk mati muda tetap terjadi. Ia beruntung karena tinggal bersama ayah yang selalu menyayangi dan menyemangatinya, hingga ia menjadi gadis yang tegar. Selain itu peran kedua kakak lelakinya, keenam sahabatnya, juga Andy kekasihnya tidak pernah lengah untuk terus memberikan perhatian padanya. Keke tidak pernah menyerah dalam menjalankan hidupnya, ketika ia sakit dengan wajah yang mengerikan ia tetap menjalankan aktivitas belajar di sekolah seperti anak normal. Ia bahkan ikut ujian nasonal. Ia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Nilai ujiannya pun terbaik di SMA, hingga penghargaan dari Megawati Soekarno Puteri yang kala itu menjadi presiden didapatkannya. Hal itu sebagai kenangan terakhir yang ia persembahkan untuk ayahnya dan orang-orang yang disayanginya.
Kisah dalam novel ini menceritakan secara detail perjuangan Keke pada detik-detik terakhir hidupnya. Kisah haru yang di dominasi oleh tokoh utama yang tegar dan inspiratif bagi teman-temannya ini membuat peristiwa dalam novel ini menarik. Kekuatan karakter tokoh utama dalam membangun alur dalam novel ini menarik.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penulisan ini yakni “Bagaimanakah Kondisi Sosial Budaya Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar?”

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan kondisi sosial budaya Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar

D.  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dari makalah ini yakni dapat menjadi tambahan bacaan bagi pembaca yang ingin menganalisis karya sastra khususnya novel dengan pendekatan mimetik atau mimesis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Pengertian Novel
Istilah novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman (Herman J. Waluyo, 2002: 36).
Pengertian Novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan (2003:164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat Burhan (2005:9) yang memberikan pengertian bahwa “novel adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek”. Secara etimologis , kata “novel” berasal dari novellus yang berarti baru. Jadi, novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru.

B.  Pendekatan Mimetik
Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).
Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979: 13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh.Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copydari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ide  (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi.  Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, ‘penyucian terhadap jiwa’. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan.  Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zamanromantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia  (diakses tanggal 3 Mei 2012).
Pendekatan ini menghubungkan karya sastra dengan alam semesta (dalam istilah Abrams: univers). Universe ‘aiam semesta’ ini berkaitan dengan aspek dan masalah yang cukup luas dan rumit, tidak hanya menyangkut masalah ilmu sastra, tetapi juga antara lain filsafat, psikologi, dan sosiologi dengan segala aspeknya. Sesuai dengan judul tulisan ini, masalahnya dibatasi pada ilmu sastra saja.
Dalam ilmu sastra barat, masalah ini dimulai oleh filsuf plato dan muridnya, namun yang sekaligus bertentangan pendapat, yaitu aristoteles. Hamper dua ribu tahun yang lalu mereka telah memperdebatkan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan, dan persoalan itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Dalam hubungan karya sastra dengan nimesis ‘kenyataan; plato berpendapat bahwa sastra hanyalah tiruan dan tidak menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh. Seni hanyalah mweniru dan membayangkan hal yang tampak; jadi, berdirih dibawah kenyataan. Seni seharusnya trutbful ‘penuh kebenaran’ dan seorang seniman harus modest’  ‘rendah hati’; seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal manusia yang berasio seharusnya meredakan nafsu.
Adapun aristoteles berpendapat bahwa seni justru membuat suci jiwa manusia lewat proses yang disebut katbarsis. Penyair tidak meniru kenyataan; seniman mencipta dunia sendiri dengan probability ‘kemungkinan-kemungkinan ; Karya seni menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau situasi manusia yang tak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Hubungan universe dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan boleh dikatakan sejalan. Dalam sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan alam cukup sentral. Pada abad pertengahan manusia hanya mengambil contoh ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair terikat pada ciptaan Tuhan, yang merupakan model sempurna; dalam Al-Quran kebenaran diberikan melalui pemakaian bahasa yang tidak ada yang dapat mengunggulinya; dalam puitika Cina umumnya aspek mimetik ditekankan pada seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan dan kemanusiaan harus menjadi teladan bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap sebgai seni. Dalam puisi Jawa kuno, khususnya dalam kakawin,aspek mimetic, yaitu alam sebagai teladan, bagi penyair sangat kuat pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam keindahan alam dengan berkelana menelusuri keindahan dan bagian yang paling puitik dalam arti luas. Kakawin d8isamakan dengan unio mystica, yaitu persatuan manusia dengan Tuhan melalui keindahan.
Apa bila dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka penganut teori creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom dalam kenyataan.
Adapun teori mimesis menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis - sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai dokumen social. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagaibidang pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari.
Dalam sastra, sebuah roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara kenyatan danj rekaan. Misalnya, dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan informasi factual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin lebih dari kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang memberi makna pada kenyataan atau kenyataan ilmu.
Dalam tulisan sejarah, seorang sejarahwan mencoba membei makna pada peristiwa melalui penggumpulan dan pengupasan data yang digarap seteliti serta selengkap mungkin. Akan tetapi, dalam pemberian makna ia harus bersifat selektif dan objektif serta terikat pada model naratif dan ragam fiksional yang ada bagi dia selaku penanggap kebudayaan tertentu. Sementara itu, sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dalam rangka konvensi kebebasan, kesastraan, dan sosio-kebudayaan yang dipahami pembaca. Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap kenyataan hanya mungkin dibayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri (Ibid, 1984: 219-248). 


C.  Pengertian Sosial Budaya
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku Uzey (2009 :9) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan.
Menurut Uzey (2009 :1) menyatakan bahwa nilai budaya dalam kehidupan manusia di peroleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual namun di hayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagaian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup karena itu, suatu sistem nilai budaya biasa berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.




BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Fokus Penulisan
Berdasarkan judul yang diangkat pada tulisan ini maka fokus penulisan ini yakni kondisi sosial dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar.

B.  Desain
Desain penelitian yang digunakan  dalam kajian ini adalah metode deskriptif karena sasarannya adalah mengetahui kondisi sosial yang terdapat dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar. Maka dalam menyusun desain penelitian ini harus dirancang berdasarkan pada prinsip metode deskriptif yaitu memaparkan dan menyampaikan data secara objektif kondisi sosial yang ada dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar sebagai objek penelitian.
C.  Data dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan adalah Kondisi sosial Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar. Sumber data dalam analisis ini sebagai berikut:
Judul                             : Surat Kecil Untu Tuhan
Penerbit                         :  Inandra Published
Tahun                            :  2008
Pengarang                     :  Agnes Davoar
Jumlah halaman            :  232

D.  Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yakni teknik telaah isi. telaah isi sebagai teknik penelitian untuk keperluan mendiskripsikan secara objektif, sistematis, dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi.
E.  Teknik Analisis Data
Analisis data, menurut Patton Moleong (2000:103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Bogdan dan Taylor  pada Moleong (2000:103) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu.
Teknik  analisis data pada penelitian ini ada tiga yaitu, identifikasi, klasifikasi dan interpretasi.
1.        Identifikasi
Dalam kamus sastra yang dimaksud dengan identifikasi adalah proses penghayatan terhadap diri tokoh rekaan dalam teks sastra dengan pemahaman dan pengenalan atas pikiran dan perasaan tokoh. Proses identifikasi dalam penelitian ini merupakan proses memberikan tanda pada data yang telah dikumpulkan sehingga akan mempermudah penulis dalam memilah hasil penelitian. Data yang akan di identifikasi oleh penulis dalam penelitian ini adalah kondisi sosial yang terkandung dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar.
2.        Klasifikasi
Klasifikasi artinya mengelompokkan sesuatu berdasarkan jenis, bentuk, dan sifat yang dimiliki oleh suatu benda. Tujuan klasifikasi adalah untuk memudahkan penandaan terhadap suatu benda. Proses klasifikasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun secara berkelompok sesuai jenis data itu sendiri dan sesuai dengan kaidah atau standar yang berlaku.
3.        Interpretasi

Menurut kamus istilah sastra yang dimaksud dengan interpretasi adalah pemahaman dan penjelasan teks secara sistematis dengan mengusahakan keterangan lengkap dan memadai tentang teks. Hal ini berarti menginterpretasi karya sastra harus bertolak dari rekonsruksi teks dan deskripsi pandangan kesusastraan pada zaman teks itu dibuat. Oleh karena itu, setelah peneliti melakukan proses identifikasi dan klasifikasi maka proses terakhir yang akan dilakukan oleh peneliti adalah proses interpretasi. Yang dimaksud dengan proses interpretasi adalah memberikan kesan atau pendapat akhir sang penulis terhadap apa hasil penelitiannya atau dengan kata lain memberikan kesimpulan. Metode analisis data pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif karena menggunakan data kualitatif. 

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Bahasa dan Pikiran

Resensi Novel Metamorfosis: Ketika Zona Aman Tak Lagi Nyaman

Landasan Aksiologi